- Matanya bulat,
cantik dan jernih seolah tak berdosa. Tawanya pun selalu lepas, sehingga
menambah keceriaan di wajah. Usianya memang telah dewasa, namun ia berprilaku
bagaikan balita yang polos dan tak banyak meminta. Kelembutan yang terpancar
dari jiwa, juga telah menghapus kesempatannya untuk berbuat nakal dan dosa.
Ia adikku, Dian
namanya. Limpahan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjadikan dirinya
ditakdirkan terlahir dengan keterbelakangan mental. Chromosome 15 Trisomy
Syndrome yang diderita membuatnya bagaikan seorang kanak-kanak. Namun, tak
pernah sekalipun ia terlihat menyesali nasibnya.
Dian memang anak
istimewa. Selain cacat mental, menjelang akhir hayatnya ia juga menderita sakit
ginjal, diabetes, kelainan jantung, lalu lumpuh dan isu. Bahkan beberapa hari
sebelum maut menjemput, kebutaan pun merampas penglihatannya. Tangis ketakutan
yang kekanak-kanakan, akan membuat siapapun yang mendengar giris hatinya.
"Ma... ma...
aku takut, gelap ma. Mama di sini sama aku ya ma," terdengar rengekannya
yang pernah membuat air mata mamaku tumpah. Beliau lalu mengajak Dian berdzikir
dan membaca do'a-do'a.
Apa yang diderita
Dian pernah membuatku dan saudara-saudara yang lain berburuk sangka kepada-Nya,
"Ya Allah, mengapa Engkau timpakan penderitaan sepedih ini kepada adik
kami?" Pertanyaan itu sering kali menyeruak, dan bertubi-tubi menghujani
hati ini.
Kami pun pernah
sedih karena memikirkan Dian yang tak pernah hidup normal seperti layaknya
saudara-saudaranya yang lain. Tumbuh dewasa, menikah,
lantas merasakan kebahagiaan berumah tangga. Namun, bukankah Allah Yang Maha Pencipta tentu lebih tahu segalanya. Mungkin IA hanya tersenyum bijaksana, menatap kesalahpahaman kami semua.
lantas merasakan kebahagiaan berumah tangga. Namun, bukankah Allah Yang Maha Pencipta tentu lebih tahu segalanya. Mungkin IA hanya tersenyum bijaksana, menatap kesalahpahaman kami semua.
Dian memang cacat
fisik dan mental, tapi tidak hatinya. Tubuh yang penuh tutulan obat merah
danperban karena koreng bernanah, bahkan sebagian hidupnya yang harus dijalani
dengan kursi roda, tak mampu menutupi keistimewaan yang ada pada dirinya.
Suatu peristiwa
saat ia berusia 5 tahun, menampilkan sosok jiwanya yang begitu lembut. Ia tak
pernah tega walaupun terhadap semut-semut yang mengerubungi piring nasinya. Ia
hanya menjerit-jerit, "Ma... nyamut,
nyamut ma!" karena saat itu ia tidak bisa membedakan antara nyamuk dan semut.
nyamut ma!" karena saat itu ia tidak bisa membedakan antara nyamuk dan semut.
Lalu aku yang
saat itu mendengar tergopoh-gopoh menghampirinya, "Jangan menangis Dian,
ini kan cuma
semut. Pukul saja, ntar juga semutnya pergi." Lalu uusir semut-semut itu,
dengan tepukan tangan di lantai teras depan rumah kami.
Allah Yang Maha Pengasih memang sangat mencintai Dian. Betapa tidak?
Kelahirannya disambut dengan penuh kebahagiaan, dan kematiannya di usia 30 tahun adalah peristiwa terindah yang pernah kudengar.
Kelahirannya disambut dengan penuh kebahagiaan, dan kematiannya di usia 30 tahun adalah peristiwa terindah yang pernah kudengar.
Ketika itu, menjelang malaikat maut hendak menjemput, mamaku meminta Dian
untuk selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala sambil membelai-belai lembut
epalanya, "Dian, nyebut ya sayang, ya Allah... gitu nak. Ya Allah...
Allahu Akbar!"
Lalu mama membaca surah Yaa siin di pinggir tempat tidur, sedangkan bapak
melakukan sholat Ashar, tak jauh dari sisi tempat tidur Dian.
Lidah Dian mulai sulit bergerak. Namun orangtuaku dengan tabah berusaha
membimbingnya mengucapkan "Allahu Akbar, ya Allah." Hingga suatu
saat, ketika mama membisikkan kalimat itu, Dian menggenggam tangannya dengan
kuat dan bergumam lirih, "Aaaaaahhhhhh..."
Air bening pun
bergulir dari sudut mata Dian yang telah buta. Mungkin sebagai isyarat
permintaan maaf, dan mohon kerelaan karena ia sebentar lagi akan erpulang
kepada Sang Pencipta.
"Pulanglah
Dian ke haribaan Allah..." kata mama dengan tabah di sela isakan tangisan.
Lalu dengan tenang Dian meninggalkan kami semua dengan hembusan nafas
terakhirnya.
Di saat
penguburan, mama mengecup telapak tangannya sendiri kemudian melambai ke pusara
Dian. "Selamat jalan, bidadari kecilku. Tunggu mama di sana ya, nak," katanya seraya menatap
lubang peristirahatan terakhir Dian yang mulai ditutupi tanah merah oleh para
sanak saudara dan sahabat.
Adikku Dian
memang benar-benar anak istimewa, bahkan teristimewa di antara
saudara-saudaranya. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengirim bapak
untuk pulang menyertai Dian, tak lama setelah kepergiannya. Mungkin sebagai
jawaban kepada bapak yang memang selalu merindukan anak istimewanya.
Sekarang bidadari
kecil kami tak perlu takut sendirian, karena bapak telah berada di sana untuk menemaninya.
Dian, adikku
tersayang... Jangan takut untuk kembali kepada Allah ya sayang.
Engkau tahu, engkau tak sendirian. Mama pun selalu berkata, engkau tak akan pernah sendirian, karena do'a dan segenap cinta kami selalu bersama dirimu, adikku tercinta.
Engkau tahu, engkau tak sendirian. Mama pun selalu berkata, engkau tak akan pernah sendirian, karena do'a dan segenap cinta kami selalu bersama dirimu, adikku tercinta.
Kembali kepada
Allah adalah sesuatu yang indah. Bahkan teramat indah dari apa
yang mungkin pernah engkau bayangkan. Selamat jalan sayang, selamat tinggal
adikku yang teristimewa. Engkau memang bidadari kecil yang tak pernah
sendirian.
WaLlahua'lam bi
shawab.
diposkan oleh http://puisimerahhati.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment