Dia menelungkup, membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang dilipat di atas meja, kemudian menangis tanpa suara. Sesaat hening, samar-samar Raihan bersenandung puji-pujian melalui speaker komputer. Kami bertiga duduk berhadapan dalam sebuah laboratorium kedap suara.
“Kapan kejadiannya?” tanyaku
setengah berbisik. Dia mengangkat wajah dan menerima selembar tissue yang
disodorkan ikhwan.
“Kamis malam” katanya pendek.
Bagaimana mungkin? Kemarin dia terlihat ceria seperti biasanya, alangkah
pandainya dia menutupi semua kesedihannya, kataku dalam hati.
“Lalu apa yang terjadi?” ikhwan
bertanya. “Aku menahan tangan ayah yang sudah mengangkat meja, aku tidak
mungkin
membiarkan Ibu dipukuli meja kayu.” jawabnya “Kejadiannya cepat, dan aku hilang kontrol, aku tidak bisa menahan diri seperti biasanya, aku akan memukul Ayah, tapi adikku menghalangi Kami, dan menjerit-jerit.” lanjutnya.
membiarkan Ibu dipukuli meja kayu.” jawabnya “Kejadiannya cepat, dan aku hilang kontrol, aku tidak bisa menahan diri seperti biasanya, aku akan memukul Ayah, tapi adikku menghalangi Kami, dan menjerit-jerit.” lanjutnya.
“Aku ditarik Ibu masuk kamar, Kami
berdua mengunci pintu, Ibu menggigil ketakutan, Ayah menggedor-gedor pintu,
berteriak-teriak memaki, kemudian berusaha mendobrak masuk., tapi tidak
berhasil”.
Dia menghela napas “Ayah mulai
memecahkan kaca-kaca, bahkan kaca di atas pintu kamar, pecahannya jatuh
menancap hanya satu senti dari tanganku. Ayah lalu berteriak-teriak dan
mengancam akan membakar rumah.”
“Apa?” aku dan ikhwan berseru kaget.
“Ya, tapi alhamdulillah tiba-tiba nenek datang, beliau langsung menjerit-jerit
karena ternyata adikku pingsan, jadi perhatian Ayah langsung teralihkan. Aku
dan Ibu akhirnya keluar setelah nenek mengetuk pintu.” Jawabnya, “Tentu saja
ayah menyalahkanku karena kejadian ini, dia memaki aku di hadapan
saudara-saudaraku yang datang kemudian. Akhirnya adikku siuman jam 6 pagi. Aku
pergi kerja setelah didesak Ibu, aku sempat berpesan pada Ibu untuk pergi dari
rumah kalau Ayah berusaha menyakitinya lagi”.
“Apa Ayahmu melakukannya lagi?”
Tanya ikhwan “Tidak, kemarin dia pergi, entah kemana, mungkin berjudi lagi,
Ayah baru pulang larut malam.” Katanya “Ugh menyebalkan” kataku tanpa sadar,
“Mestinya Ayahmu diadukan ke Asosiasi Pembelaan Perempuan, biar dipenjara.”
“Yaaa mesalahnya keadaan tidak
sesederhana itu kan..” kata ikhwan. Tiba-tiba dia tersenyum, lalu bangkit
“Terima kasih ya kalian sudah mendengarkan, terima kasih.” sebelum melangkah ke
luar ruangan dia berkata, “ Semoga suatu saat keadaan membaik.”
Aku dan Ikhwan termenung.
Aku memandang gerimis lewat kaca
jendela kamar, mengingat kejadian tadi siang. Baru pertama kali aku menyaksikan
ia menangis setelah 2 tahun aku berteman dengannya. Aku tidak pernah menyangka
bahwa masalah yang ia hadapi begitu berat, sampai ia memutuskan untuk
menceritakannya pada
diriku dan Ikhwan. Kami bertiga bersahabat baik, hampir sebaya. Tiba-tiba aku menangis, air mataku jatuh satu-satu…
diriku dan Ikhwan. Kami bertiga bersahabat baik, hampir sebaya. Tiba-tiba aku menangis, air mataku jatuh satu-satu…
Kata-katanya tadi siang masih
terngiang :
Ayahku pemarah…
Ayahku dulu sering selingkuh…
Sekarang tidak, tapi dia suka berjudi..
Dia sering memaki Ibu..
Dia sering menyakiti Ibu..
Padahal Ibu lah yang bekerja keras..
Padahal aku yang membiayai adikku sekolah..
Tapi Ayah tetap tidak perduli..
Dia tetap menyakiti kami…
Dan Ayah mengancam Ibu..
Ayahku pemarah…
Ayahku dulu sering selingkuh…
Sekarang tidak, tapi dia suka berjudi..
Dia sering memaki Ibu..
Dia sering menyakiti Ibu..
Padahal Ibu lah yang bekerja keras..
Padahal aku yang membiayai adikku sekolah..
Tapi Ayah tetap tidak perduli..
Dia tetap menyakiti kami…
Dan Ayah mengancam Ibu..
Dia tidak sanggup lagi berkata…lalu
dia menangis….dan aku menyaksikan tangisnya..
Sekarang aku mengerti….mengapa dia
melewatkan begitu banyak kesempatan kerja di luar kota, padahal gaji yang akan
diperoleh lebih dari apa yang telah dia dapatkan di perusahaan tempat kami
bekerja… karena dia tidak mungkin meninggalkan Ibunya, dan belum mampu membawa
serta Ibunya dengan kondisi keuangan seperti saat ini..
Sekarang aku mengerti…mengapa dia
menunda untuk menikah, karena saat ini dia hanya ingin mencintai Ibunya..Ibunya
yang sudah sebatang kara dan sering disakiti Ayahnya…
Sekarang aku mengerti....mengapa dia
begitu peka terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan seorang Ibu..
Sekarang aku mengerti…dia telah mengorbankan semuanya….Untuk melindungi dan memuliakan Ibunya..
Sekarang aku mengerti…dia telah mengorbankan semuanya….Untuk melindungi dan memuliakan Ibunya..
Aku teringat jawaban Rasulullah saw
saat seorang sahabat bertanya tentang orang yang mesti
dimuliakan..”Ibumu..ibumu…ibumu…, setelah itu baru
Ayahmu..”
Ayahmu..”
Di luar, gerimis telah menjadi hujan
lebat…
diposkan oleh http://puisimerahhati.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment