Cerpen Labibah Zain
Dimuat di Batam Pos 09/10/2006
Sepotong wajah selalu mengikuti
kehidupanku. Dimanapun. Kapanpun. Bahkan ketika aku bercintapun, wajah itu
selalu mengintip di balik tubuh suamiku. Pernikahanku dengan suamiku kuhikmati
sebagai sebuah garis takdir yang tak bisa aku hindari. Oleh karenanya aku harus
tunduk pada takdir itu setelah berulang kali aku mencoba menghindarinya tetapi
tak pernah sukses juga.
Aku tak tahu guna-guna apa yang ditaburkan
lelaki pemilik sepotong wajah itu kepadaku sehingga waktu tidurpun aku tak bisa
membebaskan pikiranku untuk tak memimpikan dia. Hal ini terjadi sejak aku duduk
di sekolah menengah pertama. Hanya beberapa hari saja setelah aku mendapatkan menstruasi
pertama. Tetanggakulah yang mengenalkanku pada lelaki itu. Sambil menjabat
tanganku, matanya menatapku lembut. Saat itu pulalah hatiku dan hatinya jatuh.
Jatuh cinta memang indah. Apalagi dibumbui
dengan aroma cinta terlarang. Lengkaplah keindahan cintaku walau akhirnya harus
berakhir tragis seperti film India.
Ya, aku harus menikah dengan pedagang kain pilihan bapakku sehari setelah
pengumuman kelulusan ujian sekolah tingkat menengah atas. Sebenarnya aku sudah
berusaha menggagalkan perkawinanku dengan pedagang kain itu. Dua malam sebelum
akad nikah dilaksanakan, aku berhasil kabur ke rumah lelaki itu.
"Nikahilah aku. Sekarang juga,"
kataku waktu itu.
Lama dia tak menjawab. Wajahnya terlihat
murung dibawah sinar bulan yang di kurung awan.
"Kau tak mau menikahiku?"Desakku
"Aku belum siap."
Tentu saja jawabannya membuatku kecewa.
" Aku sangat mencintaimu tetapi dengan
apa aku harus menafkahimu. Aku belum bekerja. Aku baru lulus SMA."
"Tapi kita punya cinta."
"Kita tak bisa makan hanya dengan cinta."
Lelaki pengecut! Umpatku dalam hati. Tetapi
aku terpaksa mengikuti permintaannya untuk kembali ke rumahku dan menikah
dengan pedagang kain itu.
Pernikahanku dengan pedagang kain itupun
berlangsung. Takdir memang tak bisa dibendung. Pedagang kain itupun resmi
menjadi suamiku.
Tetapi, cinta pertamaku terlalu indah untuk
dilupakan. Diam-diam, Aku terus saja mengikuti kehidupan lelaki itu lewat apa
saja untuk bisa mengetahui kehidupannya.
Kabar dari seorang teman, katanya lelaki
itu sudah sudah menjadi penyair kondang. Aku bersorak. Dengan demikian
puisi-puisinya yang bertebaran di media massa akan memudahkanku untuk mengikuti
keadaan hatinya. Sejak saat itu, aku mulai rajin mengunjungi kedai-kedai koran
dan majalah setiap minggu untuk membeli koran dan majalah yang memuat puisinya.
Ada alamat emailnya disitu. Pernah sekali waktu aku menguhubunginya lewat email
tersebut sekedar menanyakan kabar tetapi dia tak menjawabnya. Mungkin dia
merasa hubunganku dengannya sudah mencapai titik akhir yang tak dapat diulangi
lagi. Mungkin juga dia tak mau merusak rumah tanggaku.
Meskipun dia tak pernah membalas emailku,
aku tetap mengamati puisi-puisinya yang selalu sendu. Puisi-puisi itu bercerita
tentang cinta yang tak sampai. Aku merasa puisi-puisi itu ditujukan kepada
diriku. Ketika suamiku pergi ke toko kainnya dan kedua anakku pergi ke sekolah,
diam-diam aku mengkliping puisi-puisinya sambil mencucurkan air mata . Kupeluk
kliping puisi-puisi itu seolah-olah aku sedang memeluk lelaki itu. Bagiku,
lelaki itu masih menjadi kekasihku.
Ketika malam menjelang dan suamiku hendak
pulang, kusimpan puisi-puisi itu di tumpukan pakaian dalamku. Sebuah tempat
yang suamiku tak pernah menyentuhnya. Kemudian aku akan bersikap seperti biasa
sebagaimana layaknya seorang ibu rumah tangga. Hanya bedanya, aku membayangkan
suamiku itu adalah lelaki penyair itu dan kedua anakku adalah buah cinta kami
berdua.
Aku masih saja mengamati kehidupannya lewat
puisi-puisinya. Lewat puisi-puisinya aku tahu kemana larinya cintanya. Dari
puisinya pulalah aku tau dia sedang jatuh cinta. Ah, rupanya dia sudah
merelakan hatinya ditempati perempuan lain selain aku. Aku terisak. Ketika
membayangkan lelaki itu akan memberikan cintanya kepada perempuan lain, aku
merasa kesakitan. Tentu matanya akan menatap perempuan itu dalam-dalam dan
penuh cinta sebagaimana matanya menatap mataku dahulu. Tentu, tangannya akan
menggandeng tangan perempuan itu kemana saja mereka pergi sebagaimana dia
menggandengku dahulu. Oh! Aku tak sanggup membayangkannya. Aku harus bertindak.
Kali ini, aku mengirim email tentang
keinginanku bertemu dengannya. Sehari, dua hari lewat. Tak ada balasan.
Sementara puisi-puisinya di media massa semakin gencar memperlihatkan betapa
dia sedang kasmaran. Aku semakin panik. Kukirim email lagi. Kali ini aku
menceritakan kepedihanku sebagai seorang isteri yang aku karang-karang sendiri.
Akhirnya, aku berhasil! Sebagai seseorang yang pernah mencintaiku, ternyata dia
tak tahan juga melihat aku menderita. Kamipun merencanakan sebuah pertemuan.
Ketika suamiku pergi ke toko kainnya dan
kedua anakku pergi sekolah, pergilanh aku ke sebuah taman tempat tumbuhnya
sebuah pohon cinta. Kutata diriku sedemikian rupa. Aku ingin kelihatan cantik
dimatanya. Hatiku berdebar-debar. Kulangkahkan kakiku memasuki pintu taman itu.
Kulihat sosoknya di bawah pohon cinta. Tiba-tiba aku salah tingkah. Aku terdiam
menahan langkah. Aku tak bisa bernapas. Seperti sadar akan kehadiranku, lelaki
itu menengok ke arahku. Dia tampak gugup tetapi masih bisa tersenyum. Dari
wajahnya aku menemukan kerinduan yang luar biasa. Dia menghampiriku dan
direngkuhnya tubuhku kedalam pelukannya. Akupun menangis sesenggukan di
dadanya. Aku ingin melepaskan kerinduan yang kutahan bertahun-tahun. Beberapa
pasang mata menatap kami dengan penuh curiga. Perempuan dan lelaki setengah
baya berpelukan di siang hari, pastilah mengundang pertanyaan.
Hari itu kami bercerita banyak hal
seolah-olah ingin menguras segala uneg-uneg di dada. Aku mengatakan bahwa
sebenarnya keadaan keluargaku biasa-biasa saja. Suamiku memperlakukanku dengan
baik dan aku juga sudah mempunyai anak-anak yang lucu-lucu. Aku katakan juga
bahwa aku mengarang cerita tentang kesedihan hanya untuk bisa membuatnya
menemuiku karena aku masih sangat mencintainya.
Dia juga bercerita banyak hal termasuk
kisah cintanya yang selalu kandas karena dia selalu jatuh cinta pada perempuan
yang mirip denganku. Dan anehnya, perempuan-perempuan yang mirip denganku
selalu saja sudah bertunangan dan itu membuatnya seperti seorang tentara yang
kalah perang. Tetapi perempuan yang terakhir dekat dengannya, masih mirip
denganku. Perempuan itu juga sudah bertunangan tetapi mau memperjuangkan cinta
mereka dengan cara memutuskan hubungan pertunangannya demi lelaki itu. Tentu
saja seluruh keluarga perempuan itu jadi membenci lelaki penyairkuku itu.
Tetapi perempuan itu tetap bersikeras untuk menikah dengan lelaki dihadapanku
itu. Apapun yang terjadi.
Cinta memang seperti tuak. Pertemuan itu
membuat kami mabuk dan ketagihan. Aku selalu mengajaknya bertemu dan diapun tak
mampu menolak. Dengan sangat hati-hati, pertemuan demi pertemuanpun terjadi.
Tetapi puisi-puisinya tak lagi mengalir. Ketika kutanyakan kenapa dia tak lagi
berpuisi, dia selalu bilang, bahwa akulah puisi itu dan kini puisi itu sudah
menjadi nyata.
Meskipun kami saling mencintai, baik aku
dan dia merasa tak kuasa untuk menyatukan diri kami berdua dalam sebuah
perkawinan. Aku tak sanggup bercerai karena aku tak mau membuat anak-anakku
menderita karena perceraian orang tuanya. Terlebih lagi, Suamiku sangat sabar,
penyayang, kaya raya dan tampan. Aku tak menemukan alasan yang masuk akal untuk
minta cerai. Sedangkan Lelaki kekasihku itu tak sanggup memutuskan hubungan
dengan kekasihnya. Bahkan beberapa minggu setelah pertemuan pertamaku
dengannya, mereka menikah. Katanya, dia merasa kasihan dengan perempuan itu.
Perempuan itu sudah terlalu banyak berkorban supaya bisa menikah dengannya
hingga memutuskan pertunangannya.
Begitulah, kami bercinta pada hari-hari
kerja dan kembali ke pelukan keluarga masing-masing ketika hari menjelang
senja. Tahun demi tahunpun berlalu. Anakku bertambah satu dan lelaki itupun
sudah mempunyai satu anak dari rahim isterinya. Hingga tibalah saat suamiku
pulang kehadirat Tuhan karena serangan jantung yang tiba-tiba. Aku tak tahu apakah
aku harus sedih atau bahagia karena kepergiannya membuat anak-anaku kehilangan
ayahnya tetapi bagiku, kepergiannya membuatku lebih bebas untuk bercinta dengan
kekasihku. Kuantar jasat suamiku ke kuburan dengan perasaan teraduk-aduk.
Beberapa hari setelah kematian suamiku, aku
dan kekasihku bertemu. Aku bilang padanya kalau aku siap menjadi isteri
keduanya. Tetapi jawabannya sangat mengejutkan. Dia tak mau menikahiku karena
dia tak mau melukai hati isterinya. Katanya, kalau isterinya cemburu, tangisnya
akan terdengar kemana-mana dan dia tak sanggup menghadapinya apalagi di depan
anaknya. Untuk kesekian kalinya aku kecewa dengan keputusannya. Kali ini aku
mengeraskan hatiku untuk berhenti menemuinya. Aku berhasil. Aku menyibukkan
diriku dengan mengurus toko kain peninggalan suamiku. Toko kain itu semakin
besar dan mendatangkan keuntungan yang berlipat-lipat. Kesibukankupun semakin
padat.Tetapi tetap saja aku tak bisa melupakannya. Sepotong wajahnya masih
selalu mengikutiku. Malam-malamkupun masih dipenuhi mimpi tentangnya. Terlebih
lagi puisi-puisinya kembali lagi menghiasi berbagai media. Puisinya masih
bercerita tentang cinta yang tak sampai mencapai pantai. Akupun masih tetap
mengkliping puisi-puisinya dan masih kusimpan di tumpukan pakaian dalamku supaya
luput dari penglihatan anak-anakku.
Tahun-tahun berlalu. Ketiga anakkupun
tumbuh dewasa. Sepotong wajah lelaki itu semakin jelas mengikuti hidupku.
Tetapi saat-saat ini, aku semakin leluasa memandangnya. Senyumnya, matanya juga
bentuk hidungnya menjadi nyata. Sepotong wajah itu terpancar lewat wajah anak
ketigaku. Wajah anak ketigaku itu sangat mirip dengan wajah lelaki itu dan sama
sekali tak mirip dengan wajah suamiku.
Montreal, 2006
0 komentar:
Post a Comment