google-site-verification=pB7nJ-8VPD0_MU4TKKyNnhUXXIueNs_7eRq4jEOYWZA Puisi Sanusi Pane | BOW Merah Hati

Puisi Sanusi Pane

Sanusi Pane

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sanusi Pane
Sanusi pane.jpg
Pekerjaan Penulis, sastrawan
Kewarganegaraan Bendera Indonesia Indonesia
Sanusi Pane (lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 – meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an.

Daftar isi

Keluarga

Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

Pendidikan

Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada tahun 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.

Karier

Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka.

Pandangan

Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana.[1] Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau.[2] Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1940.

Karya

Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, diantaranya sebagai berikut:
  • Pancaran Cinta (1926)
  • Prosa Berirama (1926)
  • Puspa Mega (1927)
  • Kumpulan Sajak (1927)
  • Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)
  • Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929)
  • Madah Kelana (1931)
  • Kertajaya (drama, 1932)
  • Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)
  • Manusia Baru (drama, 1940)
  • Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940)

1.    Dibawa Gelombang

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu

Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu

2.    Di Lereng Salak

Gunung berleret, mulanya hijau,
      Lenyap membisu jauh di sana.
      Padi menguning bagai kencana,
Sampai di lereng redam berkilau.

Sebelah Selatan dapat ditinjau
      Sebagian kecil Lautan Hindia
      Laksana tasik dipandang dia
Di bawah perak membiru silau.

Di rumput halus bagai beledu,
      Aku guling memandang s’orang,
            Bagai minum keindahan alam.

Teringat kota aku tersedu;
      Takut kembali ke tempat orang,
            Tak mengenal perasaan dalam.

3.    Candi

Engkau menahan empasan kala,
Tinggal berdiri indah permai,
Tidak mengabaikan serangan segala,
Megah kuat tidak terperai.

Engkau berita waktu yang lalu,
Masa Hindia masyhur maju,
Dilayan putra bangsawan kalbu,
Dijunjung tinggi penaka ratu.

Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati,
Terkenang dulu dan waktu nanti.

Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini?
Adakah tanda megah kembali?

4.    Menanti Kata

Aku duduk diam semata,
      Membuat batin hening tenang,
Menanti-nanti timbul kata
      Dari dalam, bercaya terang.

Hendak direka jadi karangan
      Tidak terbanding dengan indahnya,
Akan diberi kepada tunangan,
      Penunjuk betapa cinta besarnya.

Berapa datang, semua masih
      Tidak sepadan dengan kekasih,
      Tidak sampai indah permainya.

Akh, ratuku, pabila gerangan
      Mendapat kata yang sepadan
      Dengan cantik paras adinda.

5.    Menumbuk Padi

Dalam caya bulan purnama,
Anak dara menumbuk padi,
Alu arah lesung bersama,
Naik turun berganti-ganti.

Badan ramping tunduk berdiri
Dengan gerak manis selalu,
Muka cantik berseri-seri;
Berat kerja mengangkat alu.

Datang berombak suara salung,
Cinta berahi cinta kandung,
Hendak mengambil hati perawan.

Sebentar berhenti anak dara
Menumbuk padi, mendengar suara,
Tersenyum simpul memandang kawan

6.    Kematian Anak

Bagai mengambil mutia bagus
      Dari indungnya, bersukacita,
Datang malaikat, perbadan halus,
      Memetik jiwa anak tercinta.

Dibawa gaib ke dalam surga,
      Disuruh bermain di taman sari,
Di tengah bunga antakesuma
      Bersukaria sepanjang hari.

Siapa gerangan jadi cemburu
Dari lumpur terpungut mutu
      Dengan menangis sebagai ini?

Bukan anak yang jadi tangisan,
Ia meratap, iba kasihan
      Kepada badan diri sendiri.

7.    Air Mancur

Air mancur jatuh kuat keras,
Berdebar deru ke atas batu,
Bersimbah buih putih selalu,
Mengalir terus teramat deras.

Keras deras, bersorak berseru,
Mendesah desing, berdengung deruh
Air mengalir membawa batu,
Menggulung-gulung dengan gemuruh.

Gemuruh guntur di tengah rimba
Membuat terasa hening tenang
Di dalam hutan bertambah terang.

Ditekannya berat dasar jiwa,
Dibuatnya hati rindu dendam,
Tetapi tujuan hanya kelam.

8.    Sajak

Di mana harga karangan sajak,
      Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
      Dicari timbang dengan pilihnya

Tanya pertama keluar di hati,
      Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
      Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa bujangga waktu menyusun
Kata yang datang berduyun-duyun
      Dari dalam, bukan nan dicari,

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
      Harus bergoncang hati nurani.

9.    Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantoro
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia
Teruslah O Teratai Bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar sedikit penjaga taman
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkau pun turut menjaga zaman

10.     Pagi
Pagi telah tiba, sinar matahari
Memancar dari belakang gunung,
Menerangi bumi, yang tadi dirundung
Malam, yang sekarang sudahlah lari.
Alam bersuka ria, gelak tersenyum,
Berseri-seri, dipeluk si raja siang.
Duka nestapa sudah diganti riang,
Sebab Sinar Bahagia datang mencium.
Mari, O Jiwa, yang meratap selalu
Dalam rumahmu, turutlah daku.
Apa guna menangisi waktu yang silam?
Mari, bersuka ria, bercengkerema
Dengan alam, dengan sinar bersama-sama,
Di bawah langit yang seperti nilam.

diposkan oleh http://puisimerahhati.blogspot.com/

0 komentar:

Post a Comment

 
© 2009 BOW Merah Hati | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan