Acep Zamzam Noor
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
H. Acep Zamzam Noor | |
---|---|
![]() |
|
Lahir | 28 Februari 1960 ![]() |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Seniman |
Agama | Islam |
Pasangan | Hj. Euis |
Anak | Rebana Adawiyah, Imana Tahira, Diwan Masnawi, Abraham Kindi, Kiara Luna |
Daftar isi
Keluarga
Acep adalah putra tertua dari K. H. Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatis dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. menikahi seorang santri bernama Euis Nurhayati dan dikaruniai orang anak bernama Rebana Adawiyah, Imana Tahira, Diwan Masnawi,Abraham Kindi. dan LunaKarier
Acep menghabiskan masa kecil dan remajanya di lingkungan pesantren, melanjutkan pendidikan pada Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, lalu Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Kini, tinggal di Desa Cipasung, Tasikmalaya.Karya
- Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982)
- Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)
- Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)
- The Poets Chant (antologi, 1995)
- Aseano (antologi, 1995)
- A Bonsai’s Morning (antologi, 1996)
- Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)
- Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)
- Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)
- Dongeng dari Negeri Sembako (kumpulan puisi, 2001)
- Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004)
- Menjadi Penyair Lagi (antologi, 2007)
Penghargaan
- Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000)
- South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
- Khatulistiwa Literary Award (2007)
- Hadiah Sastra Rancage 2012 untuk kumpulan sajak Paguneman
- ZIKIRAku mengapungRinganMeninggi padamu. Bagai kapas menari-nariDalam anginJumpalitan bagai ikanBagai lidah apiBau busuk mulutku, AnneSeratus tahun memanggi-manggilNamamuInilah zikirku:Lelehan aspal kealpaanku, cairan timahKekeliruanku, gemuruh mesin keliarankuTumpukan sampah keterpurukankuSelokan mampat kesia-siaankuAku tak tidur padahal ngantuk, tak makanPadahal lapar, tak minum padahal hausTak menangis padahal sedih, tak berobatPadahal luka, tak bunuh diriPadahal patah hatiAnne! Anne! Anne!Zikirku seribu sepi menombakmuMenembus lapisan langitmu, membongkarGumpalan megamu, membakar pusaranKabutmu, menghanguskan jarakRuang dan waktu
Aku mencairBagai airMengalir padamu. Bagai hujanTumpah ke bumiMenggelinding bagai batuBagai hantuAnne! Anne! Anne!Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparanGranat ketakutanku, dentuman meriam kemabukankuLuapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaankuSemburan asap kepunahankuAku tak mengemis padahal miskin, tak mencuriPadahal terdesak, tak merampok padahal banyak utangTak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntutPadahal punya hak, tak memaksaPadahal putus asaAnne! Anne! Anne!Zikirku seribu sunyi mengejarmuMenggedor barikade pertahananmu, menerobosDinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruangSemadimu, menghancurkan singgasanaKekhusyukanmuBau busuk mulutku, AnneSeratus tahun memanggil-manggilNamamuLEMBANG
Cakrawala membentangkan lukisan. Gerimis
Menghamparkan permadani. Angin menciptakan komposisi
Antara daun-daun bambu dan rumpun perdu:
Di ladang orang-orang memeras keringat dan waktu
“Petani, undang aku ke kebunmu
Lepas aku dalam ladangmu!”
Pagi menggigit. Dingin menikam tulang
Kabut turun, deretan cemara dan bukit yang membiru:
Di pasar orang-orang menjajakan kol, wortel dan kacang panjang
“Petani, undang aku ke teratakmu
Bakar aku bersama wangi jagungmu!”
Senja tersungkur di punggung bukit. Bulan
Menyelimuti malam dengan cahayanya yang redup
Awan merunduk, rumput dan cengkerik khusyuk berdoa:
Di surau orang-orang memaknai kehidupan dengan sederhana
LAGU PEJALAN LARUT
Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan
“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”
Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan waktu. Duapuluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!
“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”
Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematangSEPANJANG BRAGA
1
Lalat-lalat masih berterbangan
Mengitari restoran dan onggokan sampah
Tulisan-tulisan di dinding, papan-papan iklan
Derum kendaraan dan keloneng becak yang lewat
Menggulirkan waktu. Siapakah yang mabuk dan tersedu
Di ujung lagu? Tiang-tiang listrik
Kebisuan yang risik. Dipukul detik demi detik
2
“Selamat tinggal,” seorang lelaki berkacamata hitam
Mengumpat pada malam. Dari jemarinya yang kasar
Terdengar denting gitar, sedang dari mulutnya yang bau
Meluncur berbagai pesan perdamaian bagi dunia
Kisah menjadi lengkap, cuaca matang dan sunyi dewasa
“Sampai bertemu di lain kesempatan,” lelaki itu mengerang
Mungkin pada perempuan yang terbunuh tadi siang
3
Perhatikan lampu neon yang redup itu
Ia mengundang nyamuk dari berbagai warna kulit
Untuk kebersamaan. Ia semacam bendera, semacam tanda
Yang disetujui bersama. Semacam monumen bagi cinta
Tapi adakah makna di balik lambaian? Seorang pelacur tua
Seperti lampu neon yang redup itu, diam-diam memanggil kita
Juga untuk kebersamaan. Sekarang berapa harga karcis
Bandung-Jakarta?DI TUBUH-TUBUH TAK KUKENAL
Di tubuh-tubuh tak kukenal
Kutanam benihku. Di ladang-ladang kering
Bukit-bukit gersang, padang-padang kerontang
Jalan panjang keterluntaan. Telah kutanam kesepianku
Kutabur di rumah-rumah bordil, gang-gang becek
Gerbong-gerbong tak bertuan, masjid, gereja dan candi
Juga lembaran kitab-kitab suci:
Aku mencium bau anyir, mendengar tangis bayi
Kelaparan. Kesepian di mana-mana
Di tubuh-tubuh tak bernama
Kualirkan darahku. Di rahim-rahim benua
Perut-perut samudera, gelombang pasang, badai dan topan
Kegelisahan yang membentang. Kukekalkan
Aku jadi buta, Anne, jadi batu
Hatimu tanpa alamat. Masjid hanya untuk para pelayatTERLALU BANYAK
Terlalu banyak minum, terlalu banyak menelan pil tidur
Bosan bermimpi akhirnya aku tersedu:
Masihkah masjid alamatmu? Aku tak tahu. Tak tahu
Sejumlah musim telah bergulir, tahun demi tahun
Telah berakhir. Dan kembali mengalir
Memutar abad dan siklus nasib. Bergolak
Dan menyala-nyala. Sambil tersedu (mungkin tertawa)
Aku mengetuki pintu-pintu, memasuki penjara-penjara
Memecahkan etalase toko-toko
Mencarimu. Sepanjang jalan-jalan ibukota, sepanjang
Peradaban dan tumpukan sampah. Dunia
Hanya salak anjing, nyaring dalam batin
Malam seakan abadi. Aku tak tahu. Tak tahu
Terlalu banyak membaca, terlalu banyak
Bertanya. Buku demi buku merabunkan mataku
Mengirim sukmaku ke hutan-hutan, mendorong kelaminku
Ke tepi sunyi. Mendaki perut, menyeberangi paha demi paha
Melelapkan waktu. Sejarah hanya kelu
Hanya gemuruh dan gelegar mesiu. Aku tak tahu. Tak tahu
Seratus peperangan dan bencana, seribu maklumat dan fatwa
Kalimat-kalimat prosais dan berbunga. Sejuta pedang
Dan moncong senapan. Tak tahu:
Masihkah para pelayat tersedu di altarmu?BAU TANAH SEHABIS HUJAN
Di kerumunan pulau yang jauh di sana
Masih tersimpan puisi-puisiku. Pohon-pohon bambu
Rumpun-rumpun perdu serta hamparan sawah
Yang menguning. Arus sungai bergolak dalam dadaku
Memompa urat darah, memacu degup jantung
“Aku segera ke sana,” bisikku pada garu dan luku
Pada kerbau yang menunggu. Kuhirup bau tanah sehabis hujan
Kujejaki pematang dengan ingatan, lantas termangu:
Di manakah aku? Kulihat langit masa lalu
Langit lengkung biru
Di bawah matahari yang membakar
Terkubur tanah airku. Pecahan batu, lelehan aspal panas
Genangan semen menghapus semua jejak waktu:
Di manakah aku? Hanya julangan rangka-rangka besi
Bentangan kawat-kawat listrik dan gemuruh pabrik
Hanya awan hitam, kepulan asap dari cerobong zaman
Membumbung seperti lengking azan
Udara buruk menyesaki dadaku, angin jahat merabuki napasku
Kemarau menjadi api, hujan menjadi ancaman dan petir berkilatan
Seperti pedang. “Aku segera ke sana,” bisikku pada penjaga parkir itu
Pada birokrasi. Tersenyum, mengangguk, lalu masuk:
Telah kusatroni salon dan butik, kusambangi restoran dan apotik
Kurampok panti pijat dan rumah sakit. Tapi di manakah aku?diposkan oleh http://puisimerahhati.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment