google-site-verification=pB7nJ-8VPD0_MU4TKKyNnhUXXIueNs_7eRq4jEOYWZA Puisi H. Acep Zamzam Noor | BOW Merah Hati

Puisi H. Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

H. Acep Zamzam Noor
Lahir 28 Februari 1960 (umur 54)
Bendera Indonesia Tasikmalaya
Kebangsaan Indonesia
Pekerjaan Seniman
Agama Islam
Pasangan Hj. Euis
Anak Rebana Adawiyah, Imana Tahira, Diwan Masnawi, Abraham Kindi, Kiara Luna
Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960; umur 54 tahun) adalah sastrawan Indonesia.

Daftar isi

Keluarga

Acep adalah putra tertua dari K. H. Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatis dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. menikahi seorang santri bernama Euis Nurhayati dan dikaruniai orang anak bernama Rebana Adawiyah, Imana Tahira, Diwan Masnawi,Abraham Kindi. dan Luna

Karier

Acep menghabiskan masa kecil dan remajanya di lingkungan pesantren, melanjutkan pendidikan pada Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, lalu Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Kini, tinggal di Desa Cipasung, Tasikmalaya.

Karya

  • Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982)
  • Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)
  • Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)
  • The Poets Chant (antologi, 1995)
  • Aseano (antologi, 1995)
  • A Bonsai’s Morning (antologi, 1996)
  • Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)
  • Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)
  • Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)
  • Dongeng dari Negeri Sembako (kumpulan puisi, 2001)
  • Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004)
  • Menjadi Penyair Lagi (antologi, 2007)

Penghargaan

  • Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000)
  • South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
  • Khatulistiwa Literary Award (2007)
  • Hadiah Sastra Rancage 2012 untuk kumpulan sajak Paguneman
  •  
  •  
    ZIKIR
    Aku mengapung
    Ringan
    Meninggi padamu. Bagai kapas menari-nari
    Dalam angin
    Jumpalitan bagai ikan
    Bagai lidah api
    Bau busuk mulutku, Anne
    Seratus tahun memanggi-manggil
    Namamu
    Inilah zikirku:
    Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah
    Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku
    Tumpukan sampah keterpurukanku
    Selokan mampat kesia-siaanku
    Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan
    Padahal lapar, tak minum padahal haus
    Tak menangis padahal sedih, tak berobat
    Padahal luka, tak bunuh diri
    Padahal patah hati
    Anne! Anne! Anne!
    Zikirku seribu sepi menombakmu
    Menembus lapisan langitmu, membongkar
    Gumpalan megamu, membakar pusaran
    Kabutmu, menghanguskan jarak
    Ruang dan waktu

    Aku mencair
    Bagai air
    Mengalir padamu. Bagai hujan   
    Tumpah ke bumi
    Menggelinding bagai batu
    Bagai hantu
    Anne! Anne! Anne!
    Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan
    Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku 
    Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
    Semburan asap kepunahanku
    Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri
    Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang
    Tak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut
    Padahal punya hak, tak memaksa
    Padahal putus asa
    Anne! Anne! Anne!
    Zikirku seribu sunyi mengejarmu
    Menggedor barikade pertahananmu, menerobos
    Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
    Semadimu, menghancurkan singgasana
    Kekhusyukanmu
    Bau busuk mulutku, Anne
    Seratus tahun memanggil-manggil
    Namamu
     
    LEMBANG


    Cakrawala membentangkan lukisan. Gerimis
    Menghamparkan permadani. Angin menciptakan komposisi
    Antara daun-daun bambu dan rumpun perdu:
    Di ladang orang-orang memeras keringat dan waktu

    “Petani, undang aku ke kebunmu
    Lepas aku dalam ladangmu!”

    Pagi menggigit. Dingin menikam tulang
    Kabut turun, deretan cemara dan bukit yang membiru:
    Di pasar orang-orang menjajakan kol, wortel dan kacang panjang

    “Petani, undang aku ke teratakmu
    Bakar aku bersama wangi jagungmu!”

    Senja tersungkur di punggung bukit. Bulan
    Menyelimuti malam dengan cahayanya yang redup
    Awan merunduk, rumput dan cengkerik khusyuk berdoa:
    Di surau orang-orang memaknai kehidupan dengan sederhana
     
    LAGU PEJALAN LARUT


    Ingin kembali mencium rumputan
    Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
    Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
    Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
    Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan

    “Pejalan larut, di manakah kampungmu?”

    Langit membara sepanjang padang-padang
    Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
    Tungku-tungku menyalakan waktu. Duapuluh tiga tahun
    Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
    Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!

    “Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”

    Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
    Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
     
    SEPANJANG BRAGA

    1

    Lalat-lalat masih berterbangan
    Mengitari restoran dan onggokan sampah
    Tulisan-tulisan di dinding, papan-papan iklan
    Derum kendaraan dan keloneng becak yang lewat
    Menggulirkan waktu. Siapakah yang mabuk dan tersedu
    Di ujung lagu? Tiang-tiang listrik
    Kebisuan yang risik. Dipukul detik demi detik

    2

    “Selamat tinggal,” seorang lelaki berkacamata hitam
    Mengumpat pada malam. Dari jemarinya yang kasar
    Terdengar denting gitar, sedang dari mulutnya yang bau
    Meluncur berbagai pesan perdamaian bagi dunia
    Kisah menjadi lengkap, cuaca matang dan sunyi dewasa
    “Sampai bertemu di lain kesempatan,” lelaki itu mengerang
    Mungkin pada perempuan yang terbunuh tadi siang

    3

    Perhatikan lampu neon yang redup itu
    Ia mengundang nyamuk dari berbagai warna kulit
    Untuk kebersamaan. Ia semacam bendera, semacam tanda
    Yang disetujui bersama. Semacam monumen bagi cinta
    Tapi adakah makna di balik lambaian? Seorang pelacur tua
    Seperti lampu neon yang redup itu, diam-diam memanggil kita
    Juga untuk kebersamaan. Sekarang berapa harga karcis
    Bandung-Jakarta?
     
    DI TUBUH-TUBUH TAK KUKENAL


    Di tubuh-tubuh tak kukenal
    Kutanam benihku. Di ladang-ladang kering
    Bukit-bukit gersang, padang-padang kerontang
    Jalan panjang keterluntaan. Telah kutanam kesepianku

    Kutabur di rumah-rumah bordil, gang-gang becek
    Gerbong-gerbong tak bertuan, masjid, gereja dan candi
    Juga lembaran kitab-kitab suci:
    Aku mencium bau anyir, mendengar tangis bayi

    Kelaparan. Kesepian di mana-mana

    Di tubuh-tubuh tak bernama
    Kualirkan darahku. Di rahim-rahim benua
    Perut-perut samudera, gelombang pasang, badai dan topan
    Kegelisahan yang membentang. Kukekalkan

    Aku jadi buta, Anne, jadi batu
    Hatimu tanpa alamat. Masjid hanya untuk para pelayat
     
    TERLALU BANYAK


    Terlalu banyak minum, terlalu banyak menelan pil tidur
    Bosan bermimpi akhirnya aku tersedu:
    Masihkah masjid alamatmu? Aku tak tahu. Tak tahu
    Sejumlah musim telah bergulir, tahun demi tahun
    Telah berakhir. Dan kembali mengalir
    Memutar abad dan siklus nasib. Bergolak
    Dan menyala-nyala. Sambil tersedu (mungkin tertawa)
    Aku mengetuki pintu-pintu, memasuki penjara-penjara
    Memecahkan etalase toko-toko
    Mencarimu. Sepanjang jalan-jalan ibukota, sepanjang
    Peradaban dan tumpukan sampah. Dunia

    Hanya salak anjing, nyaring dalam batin
    Malam seakan abadi. Aku tak tahu. Tak tahu
    Terlalu banyak membaca, terlalu banyak
    Bertanya. Buku demi buku merabunkan mataku
    Mengirim sukmaku ke hutan-hutan, mendorong kelaminku
    Ke tepi sunyi. Mendaki perut, menyeberangi paha demi paha
    Melelapkan waktu. Sejarah hanya kelu
    Hanya gemuruh dan gelegar mesiu. Aku tak tahu. Tak tahu
    Seratus peperangan dan bencana, seribu maklumat dan fatwa
    Kalimat-kalimat prosais dan berbunga. Sejuta pedang
    Dan moncong senapan. Tak tahu:

    Masihkah para pelayat tersedu di altarmu?
     
    BAU TANAH SEHABIS HUJAN


    Di kerumunan pulau yang jauh di sana
    Masih tersimpan puisi-puisiku. Pohon-pohon bambu
    Rumpun-rumpun perdu serta hamparan sawah
    Yang menguning. Arus sungai bergolak dalam dadaku
    Memompa urat darah, memacu degup jantung

    “Aku segera ke sana,” bisikku pada garu dan luku
    Pada kerbau yang menunggu. Kuhirup bau tanah sehabis hujan
    Kujejaki pematang dengan ingatan, lantas termangu:
    Di manakah aku? Kulihat langit masa lalu
    Langit lengkung biru

    Di bawah matahari yang membakar
    Terkubur tanah airku. Pecahan batu, lelehan aspal panas
    Genangan semen menghapus semua jejak waktu:
    Di manakah aku? Hanya julangan rangka-rangka besi
    Bentangan kawat-kawat listrik dan gemuruh pabrik
    Hanya awan hitam, kepulan asap dari cerobong zaman
    Membumbung seperti lengking azan

    Udara buruk menyesaki dadaku, angin jahat merabuki napasku
    Kemarau menjadi api, hujan menjadi ancaman dan petir berkilatan
    Seperti pedang. “Aku segera ke sana,” bisikku pada penjaga parkir itu
    Pada birokrasi. Tersenyum, mengangguk, lalu masuk:
    Telah kusatroni salon dan butik, kusambangi restoran dan apotik
    Kurampok panti pijat dan rumah sakit. Tapi di manakah aku?
     
    diposkan oleh http://puisimerahhati.blogspot.com

0 komentar:

Post a Comment

 
© 2009 BOW Merah Hati | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan