google-site-verification=pB7nJ-8VPD0_MU4TKKyNnhUXXIueNs_7eRq4jEOYWZA Puisi Asrul Sani | BOW Merah Hati

Puisi Asrul Sani

Asrul Sani

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Asrul Sani
== Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926 – meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 77 tahun) adalah seorang sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia.[1] Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI. ==

Daftar isi

Asal usul

Asrul Sani merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.[2]

Pendidikan

Asrul Sani memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (sekolah dasar bentukan pemerintah kolonial Belanda) di Bukit Tinggi pada 1936. Lalu ia melanjutkan SMP di SMP Taman Siswa, Jakarta pada 1942. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor. Akan tetapi, minatnya akan Sastra sempat mengalihkan perhatiannya dari kuliah kedokteran hewan sehingga Asrul sempat pindah ke Fakultas Sastra UI dan, dengan beasiswa Lembaga Kebudayaan Indonesi- Belanda, mengikuti pertukaran ke Akademi Seni Drama, Amsterdam pada 1952 walaupun akhirnya kembali melanjutkan kuliah kedokteran hewan hingga memperoleh gelar dokter hewan pada 1955. Pada masa kuliah itu juga Asrul sempat mengikuti seminar kebudayaan di Harvard University pada 1954. Setelah tamat kedokteran hewan, Asrul kembali mengejar hasratnya akan seni sastra dengan melanjutkan kuliah dramaturgi dan sinematografi di South California University, Los Angeles, Amerika Serikat (1956) dan kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).

Karier

Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka.
Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul Sahabat Saya Cordiaz dimasukkan oleh Teeuw ke dalam Moderne Indonesische Verhalen dan dramanya Mahkamah mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah Surat atas Kertas Merah Jambu (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda).
Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul Sartre dan Burung Camar karya Anton P, dua dari banyak karya yang lain. Skenario yang di tulisnya untuk Lewat Jam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), Apa yang Kau Cari Palupi? (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di atas Kuburan (1973), dan sederet judul film lainnya. Salah satu film karya Asrul Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah Nagabonar yang dibuat sekuelnya, Nagabonar Jadi 2 oleh sineas kenamaan Deddy Mizwar.
Sementara bergiat di film, pada masa-masa kalangan komunis aktif untuk menguasai bidang kebudayaan, Asrul, mendampingi Usmar Ismail, ikut menjadi arsitek lahirnya LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh partai politik NU, yang mulai berdiri tahun 1962, untuk menghadapi aksi seluruh front kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi Ketua Umum, Asrul sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi penerbitan LESBUMI, Abad Muslimin.
Memasuki Orde Baru, sejak tahun 1966 Asrul menjadi angota DPR mewakili NU, terpilih lagi pada periode 1971-1976 mewakili PPP. Sementara itu sejak tahun 1968 terpilih sebagai anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Pada tahun 1976-79 menjadi Ketua DKJ. Sejak tahun 1970 diangkat menjadi salah satu dari 10 anggota Akademi Jakarta. Pernah menjadi Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), kini bernama IKJ. Pernah beberapa kali duduk sebagai anggota Badan Sensor Film, tahun 1979 terpilih sebagai anggota dan Ketua Dewan Film Nasional, Sejak tahun 1995 menjadi anggota BP2N (Badan Pengembangan Perfilman Nasional). Akibat sederet karya pada bidang seni dan pengabdian pada Negara, pada tahun 2000 lalu, Ia dianugerahi Bintang Mahaputra oleh pemerintah Republik Indonesia.

Karya

Sastra

  • Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950)
  • Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)
  • Mantera (kumpulan sajak, 1975)
  • Mahkamah (drama, 1988)
  • Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988)
  • Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997)

Film

Referensi

  • M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967)
  • Ajip Rosidi dkk. (ed.), Asrul Sani 70 Tahun, Penghargaan dan Penghormatan (1997)

Catatan kaki

  1. ^ Korrie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia, Balai Pustaka, 2000
  2. ^ Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit: Himpunan tulisan 1960-2008, Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horizon, 2008
  3. SURAT DARI IBU
    Pergi ke dunia luas, anakku sayang
    pergi ke hidup bebas !
    Selama angin masih angin buritan
    dan matahari pagi menyinar daun-daunan
    dalam rimba dan padang hijau.
    Pergi ke laut lepas, anakku sayang
    pergi ke alam bebas !
    Selama hari belum petang

    dan warna senja belum kemerah-merahan
    menutup pintu waktu lampau.
    Jika bayang telah pudar
    dan elang laut pulang kesarang
    angin bertiup ke benua
    Tiang-tiang akan kering sendiri
    dan nakhoda sudah tahu pedoman
    boleh engkau datang padaku !
    Kembali pulang, anakku sayang
    kembali ke balik malam !
    Jika kapalmu telah rapat ke tepi
    Kita akan bercerita
    “Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”

    Ciumlah pinggir kejauhan
    tangan terkulai karena revolusi !
    Tinggalkanlah ribaan bunda
    dan mari kita iringkan desir air di pasir
    nikmati tokoh perawan dan gadis penari !
    Kembangkan layar ! Pelaut remaja,
    Baringkanlah diri di-timbaruang
    dan pandang bintang tiada tertambat di pantai

    Rahasia kita hanya disembunyikan laut,
    Tiada mungkin di sana hati merindu lagi
    Sayang engkau tiada kenal gelombang,
    Gelombang dari rahasia pencalang
    gelombang dari nakhoda yang tiada tahu pulang.
    Kami akan selamanya cintakan engkau,
    engkau penyair !
    Lagu yang dulu kau dendangkan atas kertas gersang
    Nanti kami rendam di laut terkembang.
    Hati kita akan sama selalu,
    dari waktu sampai waktu,
    Apa yang akan kita bisikan senja ini
    Akan jadi suara lantang di waktu pagi.
    Simpanlah kertas dan pena
    Hanya yang bernyawa
    yang akan hidup selalu.
    Sendu yang kaurasa,
    di pagi kami telah membuka cahaya.


    Mantera
    Raja dari batu hitam,
    di balik rimba kelam,
    Naga malam,
    mari kemari !
    Aku laksamana dari lautan menghantam malam hari
    Aku panglima dari segala burung rajawali
    Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
    Aku jadikan belantara, jadi hutan mati
    Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
    Budak-budak tidur di pangkuan bunda
    Siapa kenal daku, aku kenal bahagia
    tiada takut pada pitam,
    tiada takut pada kelam
    pitam dan kelam punya aku
    Raja dari batu hitam,
    Di balik rimba kelam,
    Naga malam,
    Mari kemari !
    Jaga segala gadis berhias diri,
    Biar mereka pesta dan menari
    Meningkah rebana
    Aku akan menyanyi,
    Engkau berjaga dari padam api timbul api.
    Mereka akan terima cintaku
    Siapa bercinta dengan daku,
    Akan bercinta dengan tiada akhir hari
    Raja dari batu hitam
    Di balik rimba kelam,
    Naga malam,
    Mari kemari
    Mari kemari,
    Mari !

    Lagu Dari Pada Pasukan Terakhir
    Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
    bimbang telah datang pada nyala
    langit telah tergantung suram
    kata-kata berantukan pada arti sendiri.
    Bimbang telah datang pada nyala
    dan cinta tanah air akan berupa
    peluru dalam darah
    serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
    bertanya akan kesudahan ujian
    mati atau tiada mati-matinya
    O Jendral, bapa, bapa,
    tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
    ataukah suatu kehilangan keyakinan
    hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
    dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
    akan hilang ditup angin, karena
    ia berdiam di pasir kering
    O Jenderal, kami yang kini akan mati
    tiada lagi dapat melihat kelabu
    laut renangan Indonesia.
    O Jendral, kami yang kini akan jadi
    tanah, pasir, batu dan air
    kami cinta kepada bumi ini
    Ah mengapa pada hari-hari sekarang, matahari
    sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
    yang akan dikirim ke bumi.
    Jendral, mari Jendral
    mari jalan di muka
    mari kita hilangkan sengketa ucapan
    dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan,
    engkau bersama kami, engkau bersama kami,
    Mari kita tinggalkan ibu kita
    mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
    mari jendral mari
    sekali in derajat orang pencari dalam bahaya,
    mari jendral mari jendral mari, mari.......


    Kekasih yang Kelu (Untuk seorang sahabat)

    Air mata, adalah sekali ini air mata dari hati
    yang mengandung durja,
    Dan kelulah kekasih senantiasa berpisah
    Tiadalah lagi senyum yang akan timbul karena suatu kemenangan
    Habislah segala kenangan-selalu pada fajar-selalu
    yang membawa harap.

    Sudah tahu, suatu kesalahn sekali,
    Telah merobah titik asal harap,
    Dan karena gelombang yang memukul tinggi
    dengan segala rahasia dan senjata yang ada dalam kerajaannya
    Telah jadikan suatu cinta yang marak-hidup lepas dari lembaga
    Dan gamitan tangan dan mata berhenti pada suatu keluh
    sedan dari jiwa yang berduka.
    Bangunlah kekasih, berilah daku bahagia,
    Dari segala cahaya yang ada padamu.
    Bagiku, keluhan yang lama akan
    Mematikan segala tindakan,
    Membuat lagak tidak punya tokoh
    Ucapan kehilangan asal dan bekas
    Serta ini pulau-banyak dan intan laut yang kukasihi,
    Akan menjadi suatu bencana dari kelumpuhan orang berpenyakit pitam

    Aku akan hilang-lenyap, tiada meninggalkan nama.
    Suatu sedih sangsai dari diriku,
    Atas suatu panggilan dengan suara kecil
    Dari laki-laki di depan laut di belakang gunung.
    Berikan suatu pekikan peri,
    Dan ini akan lebih membujuk
    Dari suatu mulut terbuka, tapi tiada berkata.
    Air mata yang terbayang, tetapi tiada berlinang
    Dari suatu kebisuan, dari suatu kebisuan
    Jika ini adalah suatu impian,
    Maka janganlah bermimpi,
    bagaimanapun terang malam.
    Sedang daku akan berjaga,
    sampai sosok tali dantiang
    tergantung pada sinar pagi yang timbul.
    Suatu khianat yang telah memakan cinta
    suatu kebakhilan manusia yang enggan beryakin
    suatu noda,
    Dan suatu derita dan keluh uang mengelu
    ......................
    demikianlah sahabat mari berdoa,
    mari berdoa,
    kita akan berdoa,
    kita akan berdoa, kita akan berdoa
    kita akan berdoa, untuk pagi hari yang akan timbul
    diposkan oleh http://puisimerahhati.blogspot.com/

     

0 komentar:

Post a Comment

 
© 2009 BOW Merah Hati | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan