Oleh: Ki Slamet
Gundono
PULUHAN camar silih berganti bersiutan di
antara gelombang laut Selat Situbanda, dekat pantai Alengka Diraja. Tenangnya
pantai tiba-tiba berubah dipenuhi derung ribuan mesin perahu jukung. Di laut
lepas, pasukan Alengka dan wadyabala Ayodya saling berhadapan.
Seperti dikomando, keduanya saling serang.
Satu sisi bersenjata ketapel batu, sisi lain pakai tulup beracun. Jerit
kesakitan dan darah memerahkan air laut, kejam.
Tapi Anoman, jenderal pasukan Ramawijaya,
dan Prahasta, jendral raja Rahwana, masih punya etika. Mereka tidak menyerang
jukung-jukung berisi perempuan dan anak-anak di tepi laut.
Di antara desing senjata, Anoman mendengar
kabar yang sulit dipercaya. ''Bos, solar habis. Kita terpaksa mundur,'' begitu
bunyi laporan dari handy talkie-nya.
Belum menyentuh daratan, Anoman sudah
salto. Dia tendangi drum-drum kosong sampai penyok-penyok. Tong yang kosong itu
pun berbunyi nyaring. Anila mendekat. Kesatria kera berbulu ungu itu pun
menyodorkan teropong dan memberi isyarat ke tengah laut. Melihat pemandangan di
tengah samudera, Anoman ngekek. Lewat HT, dia kontak Prahasta. ''Hap..hap,
bikin kembung tuh perut!! Kehabisan solar juga yah? Hahaha..," ejek
Anoman. Prahasta hanya menjawab dengan mengacung-acungkan kepalan tangannya.
Anoman segera adakan rakor hankam dadakan.
Tak ada jalan lain untuk memenangkan perang, kecuali ada solar dalam dua jam.
Anila melesat ke Ayodya tapi nihil, puluhan pengecer sudah seminggu nganggur.
Anggada, kesatria kera berbulu merah, putra Sugriwa, melaporkan bahwa kilang
minyak Ayodya juga kosong.
Anoman lalu cepat nyaut Bagong dan melesat.
''Welaaah, Den, ati-ati.. Wow Den takut ketinggian nih.. aduh Den ngompol,''
ujar Bagong di angkasa. Anoman menuju bursa saham Amrik. Dari indeks saham,
untuk memperoleh solar murah, bisa dengan melakukan aksi borong Dow Jong.
Anoman merogoh kocek dalam-dalam. Keningnya
mengernyit tegang, duitnya masih kurang. Bagong lalu menawarkan menjual
persediaan pakaian di tas ransel. Di trotoar New York Street, Bagong buka lapak.
Dalam satu jam, baju itu ludes karena
mode-nya unik, ya iyalah,.. busana wayang. Sertifikat sudah di depan mata
Anoman, tinggal urek-urek saja. Tapi Anoman merasa aneh melihat orang di
sebelahnya yang juga membeli Dow Jong. Walaupun menyamar. dari bau dan
tingkahnya, sepertinya Anoman kenal. Jangan-jangan.., Anoman akan mengatakan
sesuatu tapi terlambat. Si misterius sudah melesat. Dari info telik sandi,
pesanan solar Prahasta sudah sampai. Anoman cepat melesat balik.
''Prahasta, gue tau lu dah dapet solar. Gue
tantang lu perang satus meter ala koboi!!'' teriak Anoman dari pantai
Situbanda. ''Idiiih, sapa takut? Mang lu aja yang bisa? Serbuuuuu!!!"
komando Prahasta dari pantai Alengka.
Satu jam berlalu, kedua belah pihak masih
saling serang. Pasukan Prahasta segera menutupi kepalanya kehujanan batu yang
dilepas ketapel pasukan Anoman. Melihat ada celah, giliran pasukan Anoman
pating pethakilan hindari tulup beracun pasukan Prahasta.
Dua jam berlalu, beberapa mesin jukung
kedua pihak terlihat batuk-batuk. Pertanda karburasi mesin sudah mulai
kekurangan suplai solar. Sementara, di garda depan, Anoman melesat jauh ke
udara. Dia tiba-tiba meluncur ke bawah dan cepat mengetapel Prahasta.
Tak ingin menjadi sasaran empuk, mesin
jukung di-off dan dibalik. Prahasta berlindung di bawah jukung. Tapi alangkah
kagetnya Anoman pas mendarat di jukungnya yang telah mati mesin. Berkali-kali
handle starter ditarik, tetap sama. Mati alias koit. Begitu pun Prahasta setelah
posisi jukung kembali menjadi jukung. Anoman menoleh ke belakang. ''Kunyuk
kurapen, solar habis gak omong!'' teriaknya dan langsung clulum, berenang
ketepian.
Prahasta tak kalah sial, entah udah berapa
kali pulang dengan berenang. ''Bedes! Perang kan mandi keringat, bukan mandi air laut,''
ujar Prahasta di tepian.
Perlombaan berburu solar pun kembali
dilakukan dua pihak. Anoman dan Bagong meluncur ke semenanjung Arabia menemui Raja Fadh. Tapi penolakan yang didapat.
Raja Fadh tak akan melepas solarnya sampai harga sentuh titik tertinggi.
Kalaupun ada hanya sepuluh liter.
Lain dengan Prahasta yang ditemani Togog.
Sampai di Irak, yang terlihat puluhan kilang minyak yang telah hancur porak
poranda. Kalaupun mau, mereka harus ngoredi sisa solar yang sudah campur tanah.
Dari hasil ngoredi dapat lima
liter. Target mereka belum terpenuhi dan terus mencari.
Dan tak sengaja, Anoman dan Prahasta
bertemu di Jakarta,
tepatnya di Tugu Monas. Mereka mborong solar di ''pom eceran''.
Di sebuah tanah lapang, tampak kerumunan
masa menyerang kelompok lain secara membabi buta. Kelompok penyerang hancurkan
apa saja yang bisa dihancurkan. Mereka serang siapa saja. Perempuan kek, orang
di kursi roda kek, pokoknya apa saja kek.
Di bawah rimbun pohon, Anoman dan Prahasta
rasanan. Ini negara mana? Orang di wayang saja, kalau perang jelas
peraturannya. Tidak serang perempuan dan anak-anak serta tak ada perang malam.
Kok ini brutal?
''Den...baiknya kita go damai aja. Biar Den
Rama dan Rahwana yang perang saja,'' celetuk Bagong. Mereka mengangguk sepakat,
bersalaman dan pergi. Togog dan Bagong lalu bagikan jerigen solar pada
sopir-sopir, karena mereka tak ingin perang solar lagi. Anoman dan Prahasta
hanya tersenyum, nyawang dari jauh. (*)
0 komentar:
Post a Comment