Oleh: Ki Slamet Gundono
GERIMIS semalam masih menyisakan dingin dan
kabut tipis. Segelas kopi, makanan ringan, dan lintingan rokok menemani dua
sosok yang sedang bercerita melepas kebekuan pagi.
Mata Narada menjelajahi harian pagi yang
dibacanya. Dia men-cuwil pohung sedikit, dan ''Wah, demo harga BBM merembet ke
pelosok dunia. Kahyangan bisa terpengaruh, nih.
Berkawan asap rokok, mata Batara Guru
menerawang jauh. Dia tak langsung merespons Narada, orang dekat di lingkaran
kekuasaannya itu. Terasa, dua sisi hati Batara Guru saling tarik menarik. Dewa
yang juga punya nama keren Sang Hyang Manikmaya itu hanya melirik headline
koran yang dilemparkan Narada begitu saja. ''Guru, diterima boleh, ditolak
kebangetan. Bagaimana kalo kita touring melihat situasi di lapangan?'' gurau
Narada. Batara Guru masih diam. Akhirnya, tanpa keputusan, mereka kembali ke
kediaman masing-masing.
Ternyata, pikiran Batara Guru masih
berkecamuk. Dia pun nyaut ponsel. Batara guru lantas meng-SMS Narada: Bro, satu
jam lagi dijemput, ocee, qt touring. Akhirnya dengan wahana Lembu Andhini,
mereka berangkat.
Sampailah mereka di sebuah kota metropolis. Pejabat setempat kenalan
mereka meminjami sebentuk mobil kinclong. Pelat nomornya merah. ''Bos, ati-ati
lagi gawat. Telik sandhi tuduh demonstrasi didalangi. Tapi, mahasiswa
menolak,'' si pejabat mewanti-wanti.
Surup-surup, mobil pelat merah itu perlahan
susuri jalanan ibu kota.
Di salah satu kampus terkenal, serombongan orang merangsek. Tiba-tiba, tongkat
kayu keras memukul kaca depan. Orang-orang pada ikut memukuli. Mobil pelat
merah itu jadi bulan-bulanan. Wajah Narada dan Batara Guru pun tegang.
Massa kian emosi, bareng-bareng mereka angkat mobil. Narada cepat
menendang pintu lantas menarik Batara Guru keluar. ''Ini cuma karena politik di
bumi. Kahyangan tidak terancam,'' ujar Batara Guru sambil melihat si jago merah
melalap si pelat merah. Narada hanya mengiyakan dengan batin yang terus
bertanya-tanya.
***
Situasi makin tak terkendali. Pagar gedung
wakil rakyat akhirnya roboh oleh para pendemo. Akhirnya, Narada dan Batara Guru
berlari menghindar. Cepat, mereka menaiki Lembu Andhini dan terbang. Sambil
nyetir Lembu Andhini, dari balik kaca mereka masih melihat ke bawah. Terpana,
mereka lupa melihat radar Lembu Andhini yang menangkap pusaran angin
berkekuatan 186 km/jam di depan.
Tubuh Lembu Andhini, tiba-tiba bergetar
hebat, mesinnya bergemuruh. Sedetik, Narada dan Batara Guru saling pandang.
Tubuh Lembu Andhini masuk pusaran angin hebat. Narada terbanting keras. Batara
Guru yang berpegangan erat pun akhirnya kontal, terbanting juga. Sistem
navigasi Lembu Andhini rusak. Lembu Andhini terbanting keras ke tanah, beberapa
bagian penyok-penyok.
Batara Guru melihat seribu nyawa orang
menjadi korban. Entah masih berapa nyawa lagi yang meregang di bawah tumpukan
puing. Pohon sak akarnya terjerabut. Kapal-kapal terlempar jauh ke daratan. Air
mata Batara Guru meleleh. ''Badai Feng Shen, telah melanda Filipina dan
sekitarnya,'' ujar sebuah radio yang remuk tapi masih bisa menyala. ''Selama
masih ada Bayu, Kahyangan aman,'' komentar Batara Guru. Narada hanya melotot
pedih memandang Batara Guru.
***
Setelah membantu sekadarnya, dengan terseok
Lembu Andhini mengangkasa. Kali ini, mereka fokus memandang ke depan, ngeri
melihat kejadian di bawah mereka. Dering ponsel Batara Guru membuat mereka
terkaget-kaget. ''Daddy di mana nich? Lagi belanja di Jakarta, Daddy mo dibawain apa?'' seru Dewi
Uma by phone.
''Tapi Uma, itu daerah rawan. Cepat keluar!
Kau bisa kena pentung aparat,'' kata Batara Guru tegang. Tapi, Uma cuek dan
menutup telepon. Narada spontan mengarahkan kemudi Lembu Andhini balik arah.
Dengan sistem navigasi yang rusak, Narada susah payah mencari koordinat Jakarta. Setiap
angka-angka koordinat dimasukkan, yang terdeteksi adalah laboratorium Namru II.
Sebuah unit milik Amrik untuk sebuah penelitian atau spionase, pokoknya tidak
jelas untuk apa.
Lebih mengkhawatirkan lagi, seumpama Namru
II meledak. Sampai radius 500 kilometer diperkirakan rusak parah. Batara Guru
mencak-mencak membaca informasi yang didapat dari internet. Batara Guru minta
Lembu Andhini diturunkan di gerbang Istana Presiden. Setelah Lembu Andhini
landing, Batara guru langsung masuk istana.
Tapi, Batara Guru terhadang Paspamres yang
melarang masuk karena Presiden tak mau diganggu sampai acara nyanyi-nyanyi
selesai. Batara Guru menelepon salah satu personel kelompok musik congrock,
Bagong. Dia menyarankan untuk segera menutup Namru II. Tapi apa jawaban
Presiden? Dia lagi tak bisa mikir karena dihadapkan hak angket. Kalau itu
digulirkan bisa terjadi impeachment. (*)
0 komentar:
Post a Comment