Oleh Ki Slamet Gundono
BULAN-BULAN terakhir ini, warga kota Ngastina seolah
disibukkan menjadi pengamat politik. Semua seperti dipaksa hanyut di dalam arus
politik. Sudut kota
yang tadinya bersih terkotori gambar-gambar cagub yang dipasang sak enak udele
dhewe.
Memang, suhu politik sedang hot-hot-nya.
Bhisma, sesepuh kerajaan, meloloskan tiga orang dalam fit and proper test calon
gubernur. Tiga kandidat itu adalah Dhestarasta, Pandu, dan Yamawidura.
Dhestarasta punya program unggulan. Yaitu,
pelayanan publik khusus para penyandang kekurangan. Sedangkan Pandu lebih
konsen pada pendidikan jangka panjang yang murah. Yamawidura lain lagi. Dia
ingin membangun ketahanan dengan spionase dan kesehatan masyarakat yang
mumpuni.
''Saya percaya kalian bisa. But, penting
juga jika kota
Ngastina punya ibu gubernur yang peduli rakyat kecil,'' ujar Bhisma bijak. Tiga
calon saling diam, menunggu. Bhisma sendiri belum tahu cara yang cespleng untuk
mengetes calon nyonya gubernur. ''Jangan takut, beh. Lha wong kite kepalanya.
Tenang aje,'' kata Pandu ngentengake. Dhestarasta pun mengiyakan, semua bisa
diatur. Pertemuan hari itu pun dibubarkan.
***
Dituntun pengawalnya, Dhestarasta masuk
Ferrari merahnya yang langsung tancap gas go home. ''Mamih,..honey,..where are
you, baby?'' seru Dhestarasta di-mesra-mesra-kan.
''Lagi siapin lunch. Nih Mamih siapin sayur
asem plus lalap,'' jawab Gendari sambil terus menata hidangan. Setelah meneguk
es dawet, Dhestarasta menceritakan apa yang baru saja dimaklumatkan Bhisma.
Kunyahan Gendari melambat seiring pikirannya yang mencerna apa yang dia orang
baru denger.
Lima belas menit kemudian, saat bubaran lunch, seorang pengemis mak
bedunduk muncul di pintu belakang. Hampir saja tumpukan piring kotor meloncat
dari tangan Gendari. Segera, dia perintahkan Limbuk membungkus nasi plus lauk
untuk si pengemis. Gendari pun segera berlalu membawa pisang ke meja makan. Dia
kembali larut dalam obrolan serius.
Anehnya, waktu Gendari balik ke dapur lagi,
si pengemis masih di posisi semula. ''Madame yang baik, help me. Please lah.
Anak saya ingin sekolah but not enough money,'' rengek si pengemis.
Naluri keibuan Gendari seketika muncul
mendengar ratapan pengemis yang keminggris itu. Diambilnya tiket terakhir
Bantuan Langsung Tunai alias BLT. ''Nih BLT. Tapi, diirit. Jangan langsung
habis. Mengko dadi BANTUAN LANGSUNG TELAS,'' ujar Gendari. Dengan senyum
menghiasi wajah, si pengemis berlalu. Tepat di tikungan, si pengemis cucul.
Begitu kostum dekil itu luruh, muncul sosok Abiyasa. Begawan sepuh itu segera
SMS Bhisma: Gendari yahuud, OK punya sebagai istri gubernur. Daftar nama
Gendari di tangan Bhisma pun di-centang hijau.
***
Di atas black Lamborghini, Pandu meminta
Kunthi ke cafe langganan mereka untuk lunch. Kedatangan Pandu disambut Kunthi
yang kebetulan tidak jauh posisinya. Baru saja bokong mereka menyentuh bantalan
kursi, seorang pengamen menghampiri mereka. ''Liyane, Mas,'' ujar Pandu.
Si pengamen enggak pindah. Dia hanya ganti
lirik lagu. ''Wancinyo wus goro-goro, geger gara-garaning duwit..'' nyanyi si
pengamen. Kunti yang merasa tersindir melirik sedikit. Ternyata, yang ngamen
bukan Sujiwo Tejo, dalang asal Jawa Wetan. Kunti pun merogoh kantong. Dia
ulung-kan selembar uang ribuan. Si pengamen menerima secara sopan. Tapi, dia
tak langsung pergi. Pengamen itu tetap bersenandung. Tak cuma satu lagu,
pengamen itu melantunkan satu album.
''Udah, Mas,'' kata Kunthi sambil
mempersilakan pengamen duduk di kursi kosong. Bertiga, mereka lunch. Pengamen pun
bercerita, yang dia butuhkan bukan selembar ribuan. Tapi, dia terbelit utang
gede yang jatuh tempo esok hari.
Kunthi kembali merogoh tas. Dia keluarkan surat keterangan BLT.
''Ini BLT, BIKIN LUNAS TUNGGAKAN!! Semoga menolong,'' kata Kunthi.
Di parkiran cafe, pengamen yang ternyata
juga Abiyasa itu meng-SMS Bhisma. Jangan lupa nama Kunthi juga di-centhang.
LOLOS. Bhisma tersenyum membaca SMS Abiyasa.
***
Lepas dari istana, Yamawidura menjemput
istri di rumah sakit. Dalam balutan seragam putih bersih wangi, Sri Mulyani
sambut kedatangan Yamawidura dengan pelukan mesra.
Di kantor Sri Mulyani, Yamawidura meminta
istrinya sekarang lebih memperhatikan rakyat kecil yang kondisinya kini bagai
telur di ujung tanduk. Mereka saling pandang dan diam. Lalu, mereka dikagetkan
dering handphone.
Terlihat serius, Sri Mulyani mendengar
tanpa komentar sampai pembicaraan terputus. Baru setelah itu dia cerita pada
Yamawidura. Baru saja seorang ibu melahirkan. Gara-gara tidak bisa membayar
biaya sebesar tujuh juta, ibu itu menjadi tahanan pihak rumah sakit. Si ibu dan
anak hanya berkutat di dalam kamar perawatan.
Sri Mulyani langsung teringat ada program
baru. ''Kan sekarang ada BLT, BISA LANGSUNG
TINDAK alias bisa langsung pulang, kan?''
telepon Sri Mulyani ke rumah sakit. Tawaran itu ditolak pihak rumah sakit.
Masih kurang banyak, BLT baru tujuh ratus ribu.
Dalam ruang kerjanya, Sri Mulyani putar
otak. Kembali, dia tawarkan rekomendasi, pasien ditanggung pemerintah. Namun,
dia hanya menerima jawaban miring. Apa bisa RS swasta menerima rekomendasi?
Abiyasa yang mengikuti semuanya lewat kaca
jendela nangis mrebes mili. Segera dia SMS Bhisma: Ternyata BLT tidak
selesaikan urip orang kecil. Bhisma yang menerima SMS hanya tercenung.
Kenapa negara yang dulu LOH JINAWI KERTA RAHARJO
kok malah dadi KEBAK LUH ING JINAWI RINGKIH ADEGE TAN RAHARJO. (*)
0 komentar:
Post a Comment