Cerpen: Kharisma Kurniawan
SEORANG Perempuan menulis sajak dalam benak
dengan tinta hitam malam. Seluruh pori-porinya mengembang. Peluhnya sangat
deras menjelma ribuan kata, ribuan kalimat yang mengalir dari telaga kenangan.
Kadang Perempuan itu cemas, kadang Perempuan itu gemas pada Malam, sehingga ia
tak pernah lelah untuk menikamkan runcing-runcing kata, pisau-pisau kalimat ke
lambung Malam.
Apa kabar, Malam? Kuharap kamu bukan malam
yang dulu, yang datang bersama derap-derap sepatu dan mengambil paksa Ayah
untuk diperam dalam drum berisi adonan semen dan batu hingga darahnya membeku.
Malam terdiam. Ditatapnya wajah perempuan
itu. Suasana pun terasa canggung.
Untuk apa kamu datang ke liang persembunyianku?
Biarkan aku sedikit tenang di sini, bisa mendengarkan suara degup jantungku
yang teratur merambati kesunyian; bukan lagi degup jantung seorang Perempuan
pelarian yang kelelahan menangkis desingan maut. Sungguh, ini kemewahan bagiku.
Kau tahu, Malam, bertahun-tahun aku
mengendap-endap dari kota ke kota, sejak kerusuhan berdarah itu pecah.
Rumah, ranjang, boneka kesayangan, sepeda kecil, album keluarga, buku-buku,
bunga-bunga di taman atau apa saja yang pernah kumiliki, telah punah. Dan,
satu-satunya yang berhak kumiliki hanyalah kenangan. Begitu juga dengan mesin
ketik Ayah yang selalu bersuara kicau gelatik. Juga mesin jahit Ibu, yang
selalu bergemuruh membangunkan aku dari tidur untuk mandi, sarapan, dan
berangkat sekolah. Apakah sejumput kenangan itu juga akan kau ambil? Kenapa
kamu diam?
Perempuan itu mencoba menebak-nebak jawaban
yang akan diucapkan Malam. Mungkin Malam ingin menjelaskan semua hal, tentang
tahun-tahun lama, tentang banyak kepala yang dipenggal.
Tapi Malam tetap diam. Air matanya menitik
menjadi gerimis rintik.
Perempuan itu ingin meninju atau menampar
wajah Malam yang baginya mencoba menyuap dirinya dengan sekeping iba. ''Dukaku
terlalu dalam, Malam. Tangismu sangat tidak cukup menghiburku,'' Perempuan itu
meniupkan kalimat menyengat. Dia berharap Malam menjadi tersinggung dan marah,
hingga semua ucapan tumpah. Dia sangat menunggu, Malam bergairah mengutuknya
dengan sumpah serapah. Dia terus memancing Malam untuk marah. Bukankah justru
musuhlah yang paling jujur menilai diri kita, pikir Perempuan itu.
Ia sangat menunggu kutuk kata dari mulut
Malam. Ia menunggu kata-kata busuk tentang Ayahnya, tentang Ibunya, tentang
para saudaranya keluar atau sumpah serapah lainnya. Ia berharap dari balik
kata-kata kasar itu Malam bisa lebih jujur memberikan alasan kenapa Ayahnya
dicor dalam drum.
Kenapa pada tahun yang sangat kelam itu
kamu begitu beringas, Malam? Kamu membawa senapan dan bayonet. Dan orang-orang
yang kami cintai itu kamu ambil paksa, kamu rajam dengan timah panas dan kamu
tikam dengan bayonet berkilat. Kenapa kamu biarkan anggota pasukanmu menjarah
harta benda kami, memperkosa saudara-saudara kami. Kamu ingat adikku, Zuan? Dia
masih terus menangis sampai kini, sejak pasukanmu menciptakan neraka di rongga
dadanya. Bahkan ia belum pernah menstruasi ketika kehormatannya lepas dari
genggaman. Kenapa kamu membiarkan? Kenapa kamu diam? Kenapa?
Mungkin kamu sedang menyusun alasan bahwa
waktu itu negara sedang kalut, api sangat gampang tersulut, pedang dan parang
begitu mudah terhunus, senapan-senapan begitu ringan menyalak. Dan
tangan-tangan begitu mudah menumpahkan darah. Atau, mungkin kamu juga akan
menjelaskan bahwa kebencian telah ditabur di setiap rongga dada dan tumbuh
menjadi belukar prasangka.
Waktu itu aku hanya bisa berdebar dan
gemetar melihat maut berkelebat tangkas memunguti nyawa demi nyawa. Aku pun tak
kuasa menahan jerit sukmaku melihat mayat-mayat mengambang di sungai darah,
mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan, parit-parit, got-got, lorong-lorong
di bawah bentangan spanduk yang mengepal, dengan kalimat yang sangat beringas.
Dan entah tangan siapa yang tiba-tiba menarikku dari kepungan orang-orang
bertopeng. Tangan itu membawaku terbang. Kulit tangan itu sangat halus serupa
beludru. Mungkin tangan malaikat.
''Apakah hanya karena ras yang berbeda,
Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku harus binasa? Atau karena sebab yang tak
mungkin diungkap? Atau kami hanyalah pihak yang sengaja dikorbankan atas nama
kepentingan yang tidak mungkin dijelaskan?'' Perempuan itu meradang.
Malam terdiam. Sedikit gemetar. Ia mencium
aroma tubuh Perempuan serupa harum tanah sehabis hujan. Sedap. Menimbulkan
debar. Sungguh, wajah Perempuan itu sangat mempesona, meskipun tidak bisa
disebut jelita, batin Malam. Komposisi antara mata, alis tebal, hidung, pipi,
bibir, dan dagu bukan komposisi yang sempurna, tapi manis. Urat-urat kesedihan
yang bersilangan di wajahnya memang sedikit mengganggu kemanisannya, namun ia
tetap mempesona.
Malam, kenapa kamu diam?
Malam tergeragap. Kesuntukannya menikmati
keindahan wajah Perempuan itu pun buyar. Dengan tergopoh-gopoh ia mencoba
memunguti kristal-kristal kekagumannya atas wajah Perempuan itu. Langsung
memasukkan dalam saku di balik jaket hitamnya.
Dada Malam terasa bergemuruh. Perempuan
manis, kenapa kamu menjadikan aku sebagai tertuduh? Kata-kata itu nyaris
meluncur dari mulut Malam. Tapi, Malam cepat-cepat menahan gerak lidahnya,
hingga suaranya langsung tercekat.
''Coba kamu ulangi, Malam...,'' ujar
Perempuan itu, lembut.
Malam kembali terdiam, setelah susah payah
ia menguasai diri. Pada momen itu sesungguhnya ia ingin menjelaskan bahwa
dirinya tak lebih dari kesunyian yang begitu rapuh dilabrak segala hal yang
tanpa terduga menabrak dan melabrak. ''Perempuan, betapa mataku, hatiku sangat
pedih menyaksikan semua peristiwa itu. Bahkan hingga kini aku pun tidak ingin
mengingatnya kembali. Kenangan itu terlalu hitam, terlalu kelam, lebih kelam
dari wajah dan sosokku,'' batin Malam.
Aku sendiri tak pernah paham, mendadak
orang-orang liar itu muncul dari belukar sambil memamerkan taring-taring dan
teriakan yang melengking-lengking. Aku bisa mendengar degup jantung mereka,
debur ombak darah di nadinya yang sangat kasar dan terpantul pada tatapan mata
nanar. Aku hanya mengenal seragam mereka serupa tumpang-tindih warna daun-daun
hutan, tapi tak tahu persis siapa mereka. Aku hanya mengenal bahasa mereka,
tapi tidak tahu asalnya. Bahasa mereka sulit diartikan, lebih mirip kumpulan
bunyi tanpa nada dan langgam. Sangat kaku, keras, dan tidak menarik. Tidak ada
kalimat di sana.
Hanya kata. Hanya perintah. Selebihnya hanya amarah.
Malam seperti mendengar isak tangis, namun
ternyata suara hujan riwis. Perempuan itu tetap duduk di sana, di atas batu, di bawah tempias cahaya
bulan yang bergegas tenggelam di balik awan. Pelan-pelan Perempuan itu melepas
kain yang disambut kesiur angin yang lalu menerbangkannya entah ke mana.
Perempuan itu menjelma patung putih pualam. Malam pun terpejam. Jantungnya
berdegup kencang. Tapi ia tetap menyelinap di balik tabir gelap, seolah tak
pernah melihat tubuh Perempuan yang begitu memikat.
Pelan-pelan, bahkan sangat pelan perempuan
itu menggerakkan tubuhnya. Gerakannya serupa tarian angin, lembut, mengalir.
Tubuhnya terus bergerak. Kadang melingkar. Kadang berputar. Kadang melintas
bidang kiri dan kanan. Di dalam anyaman gerak, menyembul sayup-sayup suara
tembang indah, meski terdengar parau dan serak. Malam kesulitan mengartikan
kata-kata dalam tembang. Yang ia dengar hanyalah rangkaian bunyi yang terasa
menyayat. Tembang itu terus menggema, menerobos udara, meluncur bersama angin
ke berbagai arah. Dinding-dinding kesunyian yang diterobosnya pun retak dan
terbelah-belah.
Malam tahu persis, sudah puluhan tahun
Perempuan itu bersahabat dengan angin. Mungkin bukan hanya bersahabat. Mungkin juga
hubungan kasih. Barangkali Perempuan itu hanya percaya kepada angin, yang tidak
pernah berdusta tentang segala hal-ihwal. Atau, mungkin juga Perempuan itu
menganggap hanya anginlah yang masih mau memeluknya, membasuh segala lukanya
dan memahami berbagai perasaannya. Dalam ribuan malam mereka saling cakap,
saling dekap.
Tubuh Perempuan itu terus bergerak. Angin
menyambutnya dengan tiupan yang membelit tubuh Perempuan itu. Keduanya
membentuk komposisi serupa dua sosok yang berpilin. Saling mengelayut, saling
menjalin. Saling berpeluk. Saling berpagut. Perempuan itu begitu bergairah.
Hasratnya berbuncah-buncah.
Malam tak mampu menyembunyikan risau,
gemuruh hatinya terus mendesau. Kenapa Perempuan itu hanya mau menari dengan
angin, dan tidak dengan aku?Malam pun mencoba meredakan kecemburuannya, mencoba
menghibur dirinya. Mungkin Perempuan itu ingin menggedor langit agar segala
sungkawanya didengar, atau setidak-tidaknya agar telinga langit menjadi makin
lebar.
Tapi mengapa Perempuan itu menganggapku sebagai
sesuatu yang terkutuk? Risau Malam makin mendesau. Ia tak mampu menahan
kejengkelannya sehingga terus mengubah dirinya menjadi gelap pekat nyaris
segala hal tak terlihat. Ia ingin menghukum Perempuan itu agar tak mampu
melihat apa saja. Tapi Perempuan itu terus menari. Angin terus mengikutinya
dalam segala irama.
''Apa kabar, Malam...?'' desah suara
Perempuan itu, ''kenapa kamu selalu diam. Selalu bungkam..''
Malam terperanjat. Dadanya berdesir.
''Kenapa kamu hanya diam, ketika semua
milikku lepas dari genggaman? Kenapa kamu selalu memberi aku mimpi buruk?''
Perempuan itu mendesis.
Perempuan itu terus menari, dengan lantunan
tembang menyayat dan terdengar makin lamat. Perempuan itu hanya berharap, Malam
mau mencatat seluruh lukanya yang terpahat dalam sukmanya. ***
Ngawi, 2009
0 komentar:
Post a Comment